10 April 2009

Efek Bom Bali Terhadap Ummat Islam Bali

Di seluruh alam semesta ini tidak ada satu makhluk pun yang tidak dapat berinteraksi, mereka saling berinteraksi antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lainnya. Karena dengan berkomunikasi mereka dapat memenuhi apa yang mereka butuhkan dan mereka saling melengkapi. Begitu juga dengan kita sebagai manusia, kita sebagai makhluk sosial yang memiliki akal dan fikiran harus lebih baik dari makhluk-makhluk lainnya yang telah ada. Kita diciptakan berbeda-beda dengan makhluk sesama kita, baik secara fisik, mental dan juga fikiran. Lalu mengapa kita diciptakan seperti ini? Karena dengan perbedaan itu kita dapat menciptakan suatu kesatuan yang kuat dan saling melengkapi, maka dengan kekurangan-kekurangan kita yang telah ada pastilah ada kelebihan-kelebihan yang terkandung di dalam diri kita. Dari sinilah kita harus memiliki sifat saling melengkapi, tetapi bagaimana agar kekurangan-kekurangan kita dapat terlengkapi? Yaitu dengan berkomunikasi dan berinteraksi.

    Dimanapun manusia berada, tidak akan dapat terpisahkan dari lingkungan sosialnya (masyarakat). Oleh karena itu, sejak dahulu, orang sudah menaruh minat yang besar terhadap tingkah laku manusia dalam lingkungan sosialnya. Tingkah laku manusia sebagai bagian dari lingkungan yang terbatas, separti keluarga, masyarakat di suatu wilayah tertentu dan sebagainya. Karena setiap manusia selalu terkait dengan linkungan masyarakat tertentu maka pengaruh sosiologipun sangat besar dalam perkembangan perilaku sosial masyarakat

  1. Setting lingkungan sosial

Observasi kali ini, penulis sengaja memusatkan pada daerah yang memungkinkan untuk diteliti. Daerah itu adalah di tempat kelahiran penulis yakni di Provinsi Bali. Yang mana latar pekerjaan mereka berbeda-beda satu sama lain antar warga. Ada yang bekerja swasta, PNS, nelayan, pedagang, petani, dan ada juga yang pengangguran. Dari aspek agama, kuantitas ummat Hindu lebih banyak dari ummat agama yang lain. Ummat Hindu di Bali ada sekitar 63 % dari jumlah keseluruhan penduduk di Bali. Disusul dengan kaum muslimin 28 %, ummat Kristiani 7 % dan agama lain 2%. Interaksi antar agama di Bali bias dikatakan cukup baik. Mengingat hingga sebelum pasca tragedy Bom Bali, hamper tidak pernah ada konflik besar antar ummat beragama terutama antara muslim dengan hindu yang notabene merupakan agama yang besar yang dianut.

  1. Gambaran tentang realitas sosial

Gambaran sosialnya, sebelum kejadian tragedy Bom Bali, interaksi antar ummat beragama berjalan selaras nyaris tanpa adanya permasalahan. Mereka bias hidup dalam berbagai aspek, mulai dari ekonomi seperti pergaulan di pasar, dalam hal pemerintahan dimana pejabat birokrasi tidak pernah menjadikan alas an agama dalam berbeda pendapat.

Namun pasca tragedy bom bali yang menewaskan 202 jiwa manusia tak berdosa, yang mayoritas warga asing, semua kehidupan social dari berbagai aspek seakan berubah 180 derajat. Disana sini banyak ditemukan adanya hal-hal yang berbau diskriminatif. Mulai dari interaksi social dalam pendidikan, politik, dan lain-lain.

  1. Penyebab munculnya masalah sosial

Penyebab masalah sosial ini adalah, karena ummat Hindu sangat fundamen dengan memahami masalah keagamaannya bahkan terkesan kaku dan fanatic terhadap adatnya. Jadi apapun yang dilontarkan oleh para sesepuh adapt disana akan dilkukan dengan se-radikal mungkin.

Dan juga, sebagaimana yang kita ketahui bersama, para pelaku dari Bom Bali tersebut yakni AMrozi cs adalah dari kalangan ummat Islam dan mengatasnamakan seruan agama. Maka kemudian, muncul asumsi dari kalangan ummat Hindu bahwa ummat islam adalah para teroris berkopyah. Dan banyak lagi skepma-skepma negative yang muncul kemudian.

  1. Bentuk-bentuk permasalahan sosial dan dampaknya

Setelah penulis melakukan observasi pada beberapa masyarakat muslim di Bali, terjadi perubahan interaksi sosial antar ummat beragama di Bali pasca tragedy Bom Bali. Tragedy tersebut sangat membawa dampak yang besar bagi aspek soaial kemasyarakatan antar ummat beragama di Bali. Yang dahulunya mereka bias berjalan dengan rukun, saling mengisi tanpa adanya sedikitpun rasa curiga. Namun kini, sudah banyak ummat Hindu yang memusuhi ummat Islam di Bali. Bahkan ummat Islam sudah di cap sebagai teroris.

KH. M. Zaki HAR, salah seorang Pengasuh Pondok Pesantren di desa Loloan Timur kecamatan Negara Kabupaten Jembrana Bali mengungkapkan, bahwa banyak kendala yang dialami ummat Islam dalam hal kebebasan beribadah. Seperti di daerah Pangkung Tanah Kecamatan Negara-Bali, yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dengan prosentasi hampir mencapai 90%, banyak larangan-larangan (peraturan) yang dibuat oleh para Pecalang (pemangku adat), yang intinya menutup semua akses kaum muslim. Seperti dilarangnya melakukan sholat jum’at di Masjid, tidak diperbolehkannya mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bersifat melibatkan orang banyak seperti diba’an, tahlil dll.

Dari aspek pergaulan, muncul skepma negativ dari ummat Hindu terhadap kaum muslimin di Bali. Mereka, ummat Hindu, berasumsi bahwa agama Islam telah melegalkan ajaran-ajaran yang mengandung kekerasan, atau bahasa ngetrendnya teroris. Sering kali terjadi perkelahian antara pemuda Islam dengan Hindu yang dipicu karena cemoohan.

Lebih parah lagi yang terjadi di daerah Singaraja. Di salah satu kampus terkenal di daerah tersebut, Universitas negeri Ganesha, sebagaimana yang diungkapkan oleh Masruhi, salah seorang Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris asal Negara-Bali, ada peraturan yang melarang mahasiswanya untuk meninggalkan kelas pada waktu kuliah. Permasalahannya, ketika jam kuliah itu tepat pada hari jum’at sekitar jam 12.30 WITA, yang notabene merupakan waktu menunaikan shalat jum’at bagi kaum muslim, maka mahasiswa tersebut dilarang untuk menunaikannya. Ini jelas menghambat akses beribadah dalam skup Pendidikan.

Hal semacam itu juga terjadi di salah satu SMA di Denpasar, yang mana siswa disana dilarang memakai jilbab dan rok panjang. Hal itu diungkapkan salah satu siswa yang bernama Nazriyah. “Aku terpaksa tidak memakai jilbab, karena ingin tetap sekolah disana” ungkapnya.

Semua kejadian seperti yang penulis paparkan diatas bias ditemui pasca tragedy bom bali. Pada hakikatnya, banyak dari kalangan ummat Islam di Bali mengalami kesulitan dalam kehidupan bermasyarakat pasca kejadian itu. Meskipun ada beberapa kalangan yang tetap mendukung pengeboman tersebut sebagai bentuk kekecewaan mereka akan budaya asing yang dibawa oleh para touris, namun kalangan ini hanyalah sedikit jumlahnya.

ANALISA DAN SOLUSI

Dari keadaan social sebelum dan sesudah tragedy Bom Bali, maka dapat kita analisa bahwa factor perubahan tersebut sangat erat kaitannya dengan fanatisme ummat Hindu terhadap agamanya dan perangkatnya seperti hokum adapt, fatwa para pemangku adapt dll. Dan juga akibat pernyataan pelaku Bom Bali yang mengatakan bahwa pengeboman itu dilandasi oleh seruan agama.

Dan itu jelas sangat berdampak negative terhadap ummat Islam di Bali yang notabene secara kuantitas kalah dari ummat Hindu. Baik interaksi social dalam aspek pendidikan, pergaulan, birokrasi dll.

Dari analisa hukum, terdapat penyimpangan hokum dari imbas tragedy bom bali terhadap ummat muslim bali dalam hal pelarangan melakukan ibadah shalat jum’at. Padahal kita ketahui bersama, bahwa di dalam Undang-Undasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan pada Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi:

Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali”.

Dengan demikian, perilaku menyimpang yang telah dilakukan oleh ummat Hindu terhadap kaum muslimin telah melanggar UUD ’45 Pasal 28E. dan ini menjadikan indikasi, bahwa hokum adapt Hindu di Bali lebih diutamakan dari pada konstitusi NKRI.

Saat ini yang dibutuhkan adalah adanya sifat toleransi yang tinggi bagi semua kalangan di Bali dan penegakan hukum yang benar-benar adil. Mereka harus mengetahui siapa yang patut disalahkan dan bukan untuk menjadikan alasan.

Khusus bagi ummat Islam yang terlanjur mendapat skepma negatig, maka harus lebih sering memunculkan sifat inklusif, ramah dan sering mengadakan kegiatan-kegiatan yang menunjukkan betapa Islam itu membenci adanya kekerasan dan aksi-aksi terorisme.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang bias dipetik dari abstraksi diatas adalah bahwa tragedy Bom Bali memberikan aspek yang cukup signifikan bagi ummat Islam yang berdomisili di Bali. Kehidupan yang harmonis antar ummat beragama di Bali sebelum Bom Bali, salah satu buktinya dengan dibangunnya lima rumah ibadah dari berbagai agama di daerah Nusa Dua-Bali, kini telah berubah. Banyak dari kalangan ummat Hindu berasumsi buruk terhadap ummat Islam Bali. Akibatnya bagi ummat Islam di Bali, mereka sering didiskriminasi dan terkesan termarginalkan. Meskipun mereka telah lama hidup dan berinteraksi dengan masyarakat yang majemuk seperti Bali. Mulai dari penutupan akses beribadah, pendidikan dan cemoohan dalam pergaulan banyak mereka telan. Meskipun bukan mereka yang melakukan pengeboman tersebut, namun karena pernyataan Amrozi cs -yang menyatakan bahwa landasan mereka melakukan pengeboman adalah karena seruan atau perintah agama- itulah yang menjadikan segalanya berubah.

Namun dengan adanya sifat toleransi tinggi antar ummat beragama dan pencitraan kembali oleh kaum muslim di Bali nantinya, akan menjadi solusi yang solutif bagi terciptanya masyarakat Bali yang tentram.

DAFTAR PUSTAKA

Syani, Abdul, 1987; Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial, Penerbit: Fajar Agung, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1982; Pribadi dan Masyarakat, Penerbit: CV. Rajawali, jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1982; Sosiologi Suatu Pengantar, Penerbit: CV. Rajawali, jakarta.

www.badilag.net

dunia pii » monumen tragedi bom bali.htm

lcki.org/bom-bali II

Kasus Perceraian Karena Alasan Beda Agama di Bali

Kasus Perceraian Karena Alasan Beda Agama di Bali

  1. Kasus Posisi

Pada tanggal 22 April 1986, Hamid disingkat MD (♂) dan Eni silistia disingkat ES (♀) melangsungkan perkawinan. Sebelum perkawinan MD beragama Hindu Bali, tetapi meninggalkannya dan memilih untuk memeluk agama Islam demi melangsungkan perkawinan dengan ES. Awalnya, perkawinan mereka berlangsung dengan rukun, tenteram dan damai, sehingga telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu: (1) Widya Anik (♀) usia 20 tahun; (2) Ahmad Rizal (♂) usia 14 tahun; (3) Kadek Kustanti (♀) usia 5 tahun. Sekitar bulan Februari 2006 keharmonisan rumah tangga mereka mulai goyah dan sering terjadi pertengkaran yang disebabkan karena: (1) suaminya (MD) kembali menjalankan ibadah menurut agama Hindu Bali; (2) suami cemburu terhadap istrinya tanpa sebab yang jelas; (3) suami tidak mau, enggan, dan jarang bersilaturahim dengan keluarga isterinya; (4) suami lebih mementingkan keluarganya, berbuat tidak adil atau berat sebelah dalam perhatian terhadap keluarga isterinya dan sering bertindak tanpa kompromi. ES sebagai istri, telah berusaha bersikap sabar terhadap perilaku suaminya guna mempertahankan keutuhan rumah tangga dengan harapan suatu saat suaminya akan mengubah sifat dan perilakunya. Namun ternyata tidak ada perubahan perilaku dan bahkan menyakiti hatinya, sehingga timbul pertengkaran yang memuncak pada tanggal 12 April 2006, ketika itu MD membawa pisau. Untuk menyelamatkan dirinya, ES pergi dan pindah ke rumah orang tuanya. Sejak pertengkaran itu, ES dan MD telah “pisah ranjang” atau hidup terpisah dan juga sudah tidak ada lagi hubungan lahir dan bathin. Bahkan, MD tidak lagi memberi nafkah atau apa pun yang dapat digunakan sebagai pengganti nafkah. Sehubungan dengan hal itu, pada tanggal 4 Mei 2006, ES mengajukan gugat cerai terhadap MD ke Kepaniteraan Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung Karang. Penggugat dalam surat gugatan mengajukan tuntutan (petitum) primair dan subsidair. Dalam tuntutan primair, dimohonkan agar hakim mengambil keputusan sebagai berikut:

  1. Mengabulkan gugatan penggugat;

  2. Menyatakan perkawinan penggugat dan tergugat putus karena perceraian;

  3. Menetapkan hak pengasuhan dan pemeliharaan anak penggugat dan tergugat bernama KAR sekarang berumur 5 tahun, kepada penggugat sebagai ibu kandungnya sampai anak tersebut mumayyiz atau berumur sekurang-kurangnya 12 tahun;

  4. Membebankan biaya perkara kepada penggugat. Kemudian apabila majelis hakim berpendapat lain, penggugat dalam tuntutan subsidair memohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

  1. Temuan Fakta di Persidangan

Di persidangan penggugat mengajukan dua alat bukti surat dan didukung oleh dua orang saksi. Ada dua macam alat bukti surat yang diajukan oleh penggugat, yaitu: (1) Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama penggugat (bukti Pg.1); (2) kutipan akta nikah (bukti Pg.2). Sebaliknya, tergugat tidak mengajukan alat bukti apa pun di persidangan. Foto copy dari kedua surat itu sudah diperiksa keasliannya oleh majelis hakim. Berdasarkan kedua alat bukti surat itu dapat diketahui tentang identitas penggugat yang telah terikat perkawinan yang sah dengan tergugat sesuai dengan akta nikah yang diterbitkan pada tanggal 29 April 1986 (vide, bukti Pg.2). Keterangan dari dua orang saksi yang diajukan saling bersesuaian dan mendukung dalil-dalil yang dikemukakan oleh Penggugat dalam surat gugatan. Kedua orang saksi itu masih saudara kandung penggugat. Saksi pertama adalah kakak kandung penggugat dan saksi kedua adalah adik kandung penggugat.

Fakta yang diperoleh dari keterangan kedua orang saksi tersebut, antara lain yaitu:

  1. Orang tua penggugat awalnya tidak menyetujui hubungan antara penggugat dan tergugat karena berbeda agama, namun setelah tergugat memeluk agama Islam, akhirnya direstui;

  2. Saksi mengetahui hubungan antara penggugat dan tergugat tidak harmonis ketika bertemu penggugat di rumah orang tuanya dan menerima laporan dari penggugat bahwa tergugat telah kembali memeluk agama Hindu Bali dan mempunyai tempat sembahyang agama Hindu Bali di rumahnya. Bahkan mempengaruhi penggugat agar mengikutinya dan juga melarang ketiga anaknya menjalankan ibadah agama Islam seperti sholat dan mengaji;

  3. Tergugat pernah datang ke rumah orang tua penggugat untuk didamaikan, tetapi tidak tercapai karena tergugat tetap akan memeluk agama Hindu. Berkenaan dengan keterangan kedua orang saksi tersebut, baik penggugat maupun tergugat membenarkan dan tidak membantahnya. Selanjutnya dalam kesimpulan, penggugat tetap pada gugatannya untuk bercerai dari tergugat dan mohon putusan yang seadil-adilnya ex aequo et bono). Demikian pula dengan tergugat dalam kesimpulan menyatakan bersedIa bercerai dengan penggugat.

  1. Pertimbangan Hukum

Alasan-alasan yang dijadikan pertimbangan hukum bagi majelis hakim untuk mengambil keputusan adalah sebagai berikut:

  1. Bahwa berdasarkan bukti berupa Jurnal Yudisial Vol-I/No 03/Desember/2007 186 foto copy KTP (bukti Pg.1) atas nama penggugat, perkara ini termasuk bidang tugas dan wewenang Pengadilan Agama Kelas IATanjungkarang;

  2. Bahwa berdasarkan bukti diatas dihubungkan dengan keterangan saksi terbukti penggugat dan tergugat terikat perkawinan sah yang menikah pada tanggal 22 April 1986 dan belum pernah bercerai;

  3. Bahwa telah ditemukan fakta-fakta di persidangan sebagai berikut:

i) rumah tangga penggugat dan tergugat telah tidak harmonis, sehingga sering terjadi pertengkaran dan perselisihan ± sejak bulan Februari 2006;

ii) penyebab ketidakharmonisan karena tergugat telah keluar dari agama Islam dan saat ini telah kembali ke agama Hindu Bali, bahkan Tergugat telah melarang anak-anaknya sholat dan belajar mengaji;

iii) penggugat dan tergugat telah berpisah selama ± 2 bulan, yaitu sejak bulan April 2006 sampai sekarang; Bahwa usaha untuk mendamaikan penggugat dan tergugat telah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan telah pula memberikan kesempatan kepada keduanya untuk melakukan upaya perdamaian di luar persidangan melalui upaya mediasi, akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil;

  1. Bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat benar-benar telah pecah sedemikian rupa dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi, dan apabila perkawinan penggugat dan tergugat tersebut tetap dipertahankan dan tidak diceraikan niscaya tidak akan dapat terlaksana dengan baik, bahkan akan menambah semakin beratnya beban penderitaan, sehingga tujuan perkawinan yang diharapkan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah tidak akan dapat diwujudkan;

  2. Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 39 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 Huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Huruf (f) dan Huruf (h) Kompilasi Hukum Islam Indonesia, alasan perceraian telah terbukti, karenanya gugatan patut dikabulkan dengan menfasakh perkawinan antara penggugat dan tergugat;

  3. Bahwa terhadap gugatan penggugat pada petitum ketiga tentang hak pengasuhan anak telah dicabut olehnya sendiri dalam persidangan, maka gugatan penggugat tersebut harus dinyatakan selesai karena dicabut;

  4. Bahwa perkara ini masuk dalam bidang perkawinan dan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum Islam yang bersangkutan dengan perkara ini. Pertimbangan hukum di atas melandasi keputusan majelis hakim yang amarnya berbunyi sebagai berikut:

i) Mengabulkan gugatan penggugat;

ii) Memfasakh perkawinan penggugat dengan tergugat;

iii) Menyatakan gugatan penggugat petitum 3 tentang hak asuh anak penggugat dan tergugat yang ke-3 selesai karena dicabut;

iv) Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara

  1. Analisis Kasus

Peraturan perundang-undangan yang mengatur perkawinan di Indonesia adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 1/1974). Ketentuan dalam UU 1/1974 secara tegas menunjuk kepada hokum agama sebagai syarat keabsahan suatu perkawinan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) UU 1/1974. Oleh karena itu, keberadaan dan keberlakuan hukum Islam dalam mengatur perkawinan antar umat muslim, harus dijadikan pedoman dalam menyelesaikan kasus-kasus atau perkara perkawinan. Ketentuan hukum Islam yang mengatur perkawinan antara lain terdapat dalam kitab suci Al Qur’an, Hadis Rasul, dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI). Perkawinan menurut hukum Islam dapat ditinjau dari tiga aspek,

Pertama, ialah aspek-aspek hukum, sosial, dan agama. Ditinjau dari aspek hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian. Menurut Al Qur’an Surat An Nisaa, Ayat (21), dinyatakan perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat, disebut dengan kata-kata “miitsaaghan ghaliizhan”. Ditinjau dari aspek sosial, perkawinan mengubah kedudukan dan status perempuan di masyarakat sebagaimana diatur dalam Al Qur’an Surat An Nisaa Ayat (3), berbunyi: “... jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka kawinlah seorang saja”. Perkawinan menurut agama Islam adalah lembaga yang suci yang melibatkan nama Allah dalam upacara perkawinan.

Ketentuan-ketentuan dalam Al Qur’an kemudian diatur lebih lanjut ke dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam Pasal 2 KHI ditegaskan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam merupakan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Karena, perkawinan merupakan lembaga yang suci yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Perkawinan dapat dilangsungkan apabila tidak ada halangan pada masing-masing mempelai. Halangan tersebut berupa larangan perkawinan. Dalam Pasal 44 KHI dengan tegas ditentukan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam; sedangkan bagi pria Islam menurut Pasal 40 Huruf c KHI dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Dalam praktiknya, masyarakat menafsirkan ketentuan dalam UU 1/1974 bahwa perkawinan yang sah harus dilakukan menurut hukum agama masing-masing dalam konteks perkawinan beda agama1, yaitu dilakukan upacara perkawinan menurut masing-masing agamanya.

Kedua, Ada perbedaan pendapat dari para ulama tentang perkawinan beda agama2. Sebagian besar ulama membolehkan pria muslim menikah dengan wanita dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Tetapi pakar fikih dari madzhab Hanafi, Syafi’i, dan sebagian ulama Malikiah berpendapat makruh hukumnya perkawinan antara pria muslim dan wanita ahli kitab. Pendapat yang lebih tegas dikemukakan secara formal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tanggal 26 Mei-1 Juni 1980 (11-17 Rajab 1400 H) menetapkan fatwa yang intinya menyatakan haram suatu perkawinan antara wanita Islam dan pria non-Islam, begitu juga dengan pria Islam dan wanita non-Islam, atas dasar pertimbangan mashlahat.

Demikian pula, pendapat dari organisasi massa (ormas) Islam di Indonesia. Keputusan dari Bahtsul Masa’il Nahdhatul Ulama (BMNU) dalam Muktamar NU tahun 1962 dan Muktamar Thariqah Muktabarah tahun 1968 menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah tidak sah.

Muhammadiyah dalam Muktamar Tajrih Muhammadiyah di Malang tanggal 11-16 Februari 1989 (6-10 Rajab 1409 H) menetapkan bahwa perkawinan antara orang Islam dan orang yang bukan Islam adalah haram. Ketetapan itu didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu pertimbangan akademik dan sosiologis.

Ketioga, Menurut pertimbangan akademik adalah kalangan ahli kitab ialah Yahudi dan Nasrani sebagaimana yang dijelaskan dalam Al Qur’an sudah tidak ada lagi setelah kerasulan nabi Muhammad SAW3. Pertimbangan sosiologis ialah potensi terjadinya pemurtadan terhadap muslimah yang dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Perkawinan beda agama merupakan hal yang prinsip dalam hukum Islam. Oleh karena itu, dapat dimungkinkan, sebelum perkawinan kedua mempelai beragama Islam, tetapi setelah menjalani perkawinan salah satu mempelai memeluk agama non-Islam. Berkenaan dengan hal itu, menurut Pasal 116 Huruf k KHI dengan tegas ditentukan bahwa peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga sebagai penyebab atau alasan terjadinya perceraian. Jika hal itu terjadi, maka akibat dari perceraian terhadap anak-anak, menurut Pasal 105 KHI ditentukan: (a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; (b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagaipemegang hak pemeliharaannya; (c) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka perkawinan antarumat Islam merupakan ketentuan yang mengikat, sehingga harus ditegakkan dengan konsekuen dan konsisten di dalam kasus-kasus hukum perkawinan yang terjadi di pengadilan agama Islam. Dalam hal ini, sudah menjadi ketentuan hukum agar hakim-hakim di pengadilan agama untuk menggunakan ketentuan-ketentuan dalam KHI, sebagaimana telah dituangkan dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991. Sementara itu, peraturan hukum yang mengatur tentang penegakan hukum Islam

Pengadilan mengadili menurut hokum dengan tidak membedakan orang, dalam hal ini adalah hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an, Hadis Rasul, peraturan-peraturan hukum, yurisprudensi atau putusan hakim agama Islam, doktrin atau pendapat dari para ulama. Asas-asas dalam hukum acara di atas bersifat khusus bagi peradilan agama yang menjadi pedoman dan pegangan bagi hakim-hakim di peradilan agama dalam memeriksa dan memutus perkara. Berdasarkan asas-asas, peraturan hukum Islam, dan doktrin yang telah diuraikan di atas dapat digunakan sebagai “pisau” analisis terhadap putusan hakim Pengadilan Agama Kelas IA Tanjungkarang No. 159/Pdt.G/2006/PA.Tnk. sebagaimana akan diuraikan di bawah ini. Putusan hakim untuk mengabulkan permohonan (petitum) penggugat untuk bercerai dengan tergugat sudah tepat, karena berdasarkan doktrin dan peraturan hukum Islam yang dituangkan dalam KHI ditetapkan, bahwa peralihan agama atau murtad dapat menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga sehingga dapat menjadi penyebab atau alasan terjadinya perceraian. Kasus ini juga membuktikan kekhawatiran dari Muhammadiyah tentang pemurtadan terhadap muslimah terjadi dalam praktik di masyarakat. Suatu gugatan tidak dapat ditambah selama persidangan, namun dapat dikurangi atau dicabut. Dalam perkara ini, penggugat telah mencabut petitum ke-3, yaitu permintaan agar majelis hakim menetapkan hak pengasuhan dan pemeliharaan anak bernama KAR yang masih berumur 5 tahun kepada penggugat sebagai ibu kandungnya sampai anak tersebut mumayyiz atau berumur sekurang-kurangnya 12 tahun. Hal ini dapat dibenarkan dari segi hukum acara perdata.

Namun ditinjau dari segi hukum Islam, pencabutan itu berisiko karena menurut KHI pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Jika ibunya diberikan hak mengasuh, maka diharapkan tidak terjadi pemurtadan. Apalagi, ternyata ayahnya yang telah memeluk agama Hindu Bali telah melarang anaknya untuk sholat dan mengaji. Pencabutan atas petitum itu, terkesan bersifat kompromi antara penggugat dan tergugat, karena dari ketiga orang anak mereka, dua orang telah berusia di atas 12 tahun, sehingga menurut KHI dapat menentukan sendiri, apakah akan ikut dengan ayah atau ibunya, sedangkan yang berusia 5 tahun tidak dimintakan; hal ini dapat diartikan seolah-olah ayahnya yang akan diberi hak pemeliharaan. Majelis hakim sesungguhnya dapat mengambil putusan yang lebih sesuai dengan asas atau prinsip dan ketentuan hokum Islam, khususnya dalam hal pemeliharaan anak. Apalagi, dalam gugatan itu penggugat secara tersurat memohon apabila majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. Permohonan semacam ini lazim disebut dengan ex aequo et bono yang berarti, majelis hakim diberi wewenang untuk memutus perkara secara adil, patut, dan wajar.

Menurut Sudargo Gautama, apabila ada pihak yang menghendaki penyelesaian sengketa secara ex aequoet bono, maka penyelesaiannya tidak berdasarkan ketentuan hukum, melainkan berdasarkan apa yang adil dan patut (alsgoede mannen naar bilijkheid). Dalam kasus atau perkara perceraian ini, penggugat mengharapkan majelis hakim dapat melakukan pilihan (optional)4, yaitu berpedoman pada ketentuan UU atau peraturan hukum Islam tentang perkawinan atau jika memiliki pendapat yang berbeda diharapkan dapat memutuskan berdasarkan keadilan, kepatutan, dan kewajaran. Oleh karena itu, opsi untuk memeriksa secara ex aequo et bono diajukan, tetapi sayangnya tidak digunakan. Pemeriksaan atas perkara ini sudah mengacu pada hukum acara peradilan agama. Majelis hakim telah berusaha mencoba untuk mendamaikan, namun karena peralihan agama atau murtad menurut hukum Islam dalam KHI dan doktrin dari para ulama merupakan prinsip dan syarat yang berat untuk dilanggar. Pengenaan biaya perkara kepada penggugat atau pemohon sudah sesuai dengan ketentuan hokum acara peradilan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 89 UU 7/1989.

Putusan hakim dalam perkara ini lebih bersifat kompromi. Khususnya, berkenaan dengan status pemeliharaan anak yang belum mumayyiz. Memang betul, pihak penggugat membatalkan permohonan atau tuntutannya yang menjadi hak penggugat. Oleh karena itu, menurut majelis hakim tidak perlu diberikan putusan. Dengan demikian, putusan dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Seolah-olah ada kompromi tidak hanya antara penggugat dan tergugat, tetapi juga dari pihak-pihak yang terkait dengan kepentingan terhadap hak pemeliharaan anak, karena pencabutan dilakukan ketika proses pemeriksaan sedang berlangsung. Akibat dari tindakan pencabutan petitum itu akan berdampak psikologis bagi anak tersebut. Secara tersirat, tergugat menginginkan agar anaknya yang bungsu, agar dapat dipengaruhi untuk ikut memeluk agama Hindu Bali. Posisi anak menjadi obyek dari kepentingan orang tuanya. Anak itu dapat mengalami kebingungan dan kesesatan karena diberikan pemahaman agama yang berbeda-beda. Hal ini jelas bertentangan dengan kepentingan yang terbaik bagi anak.

Ditinjau dari aspek hukum Islam, sejak awal para ulama telah mensinyalir unsure perpindahan agama dalam perkawinan digunakan sebagai faktor permutadan. Dalam hal ini, para ulama telah memperkirakan tentang larangan perkawinan yang berbeda agama dan dampaknya terhadap anak. Oleh sebab itu, jika terjadi perpindahan agama dalam perkawinan menjadi salah satu syarat terjadinya perceraian. Konsekuensi yuridisnya, hukum Islam menentukan hak pemeliharaan anak mengikuti ibunya. Maksudnya, agar kepentingan anak tetap terpelihara oleh ibunya. Apalagi, dalam perkara ini perpindahan agama oleh tergugat yang menjadi faktor penyebabnya.

Keadilan dalam perspektif Islam menurut Husein Muhammad5, merupakan gabungan antara nilai moral dan sosial yang menunjukkan kejujuran, keseimbangan, kesetaraan, kebajikan, dan kesederhanaan. Nilai moral ini menjadi inti visi agama yang harus direalisasikan manusia dalam kapasitasnya sebagai individu, keluarga, anggota komunitas, maupun penyelenggara negara. Keadilan secara umum didefinisikan sebagai menempatkan sesuatu secara proporsional dan memberikan hak kepada pemiliknya.


PENUTUP

Putusan hakim dalam perkara ini, terkesan kurang berani mengambil risiko. Padahal, dalam gugatan diberikan peluang untuk itu, sehingga putusan tentang hak pemeliharaan anak mumayyiz atau belum berumur 12 tahun menjadi tidak jelas. Sedangkan, tujuan dari pengaturan tentang perceraian karena pemurtadan dan hak pemeliharaan anak oleh ibunya berkorelasi dengan prinsip agama Islam. Hal itulah yang digunakan sebagai pertimbangan oleh MUI, NU, dan Muhammadiyah untuk melarang dilakukannya perkawinan beda agama.

Wewenang mengadili peradilan agama di Indonesia terbatas pada perkara hokum keperdataan dan hukum ekonomi Islam. Oleh karena itu, kasus-kasus atau perkara di peradilan agama umumnya perkara perceraian. Hal ini dapat membuat para hakim menjadi sangat ahli di bidang itu, atau justru sebaliknya, perkara perceraian menjadi perkara yang bersifat rutin, sehingga tidak menimbulkan tantangan (challenging) bagi hakim-hakim di peradilan agama untuk meningkatkan kemampuannya (capacity). Hukum Islam memiliki karakteristik yang berbeda dengan hukum sekuler. Karena, dalam Hukum Islam terkandung nilai-nilai moral dan asas-asas yang merupakan perintah Allah SWT, sehingga penafsiran dan penggunaannya tidak hanya didasarkan pada pertimbangan rasional atau logika semata-mata, tetapi juga harus digali apa yang menjadi asal-usul atau riwayat lahirnya surat dalam Al Qur’an yang dijadikan dasar acuan dan konteks atau aktualitasnya dengan moralitas agama Islam saat ini. Hukum Islam telah berkembang ke arah yang lebih baik ditinjau dari aspek pengaturannya. Ketentuan hukum materiil yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam telah mengakomodasi kebutuhan.

Meskipun demikian, hukum senantiasa akan berubah searah dengan perubahan zaman dan tempat (al-hukm yadur ma’a al-zaman wa al-makan), dan melalui putusan hakim di pengadilan, hukum akan dapat mengikuti perkembangan zaman.


Daftar Pustaka

- Gautama, Sudargo. “Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di Indonesia”, Bandung: PT Eresco, 1989.

- Hadikusuma, Hilman. “Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama”, Bandung: Mandar Maju, 2003.

- Lubis, Sulaikin, et. al. “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia”, Jakarta: Prenada Media, 2005.

- Muhammad, Husein. “Memaknai Keadilan dari Perspektif Islam”, Kompas, tanggal 12 November 2007.

- Ramulyo, Mohd. Idris. “Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam”, Jakarta, Bumi Aksara, 2003.


1 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 16.

2 Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hlm. 91-93.

3 5 Ibid., hlm. 99.

4 Gautama, Sudargo. “Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di Indonesia”, Bandung: PT Eresco 1989.

5 Husein Muhammad, “Memaknai Keadilan dari Perspektif Islam, “Kompas, tanggal 12 November 2007, hlm.