17 Januari 2009

Orientalis Berbicara Hadits

A. Kajian Orientalis Seputar Hadis.

Gugatan Orientalis terhadap hadis bermula pada pertengahan abad ke- 19 Masehi, tatkala hampir seluruh bagian dunia Islam telah masuk dalam cengkeraman kolonialisme bangsa- bangsa Eropa.Alois Sprenger seorang misionaris asal Jerman yang pernah tinggal di India, dia yang pertama kali mempersoalkan status hadis dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad saw, dia berpendapat bahawa hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita- cerita bohong tapi menarik ). Pendapat ini didukung oleh William Muir, orientalis asal Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi Muhammad saw, dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam literatus hadis, nama Nabi Muhammad dicatut untuk menutupi bermacam- macam kebohongan dan keganjilan. Oleh sebab itu, dari 4000 hadis yang dianggap sahih oleh Imam Bukhari, paling tidak separuhnya harus ditolak.

Kemudian muncul Ignaz Goldziher, seorang Yahudi yang lahir di Hungaria, dia pernah belajar di Al- Azhar Kairo Mesir , selama kurang lebih setahun (1873 - 1874). Tulisan- tulisannya mengenai Islam sangat negative dan distortif, mengelirukan dan menyesatkan. Dibanding pendahulunya, pendapat Goldziher mengenai hadis jauh lebih negative. Menurut dia, dari sekian banyak hadis yang ada, sebagian besarnya tidak dapat dijamin keasliannya atau palsu dan karena itu tidak dapat dijadikan sumber informasi mengenai sejarah awal Islam. Menurut Goldziher, hadis lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat muslim pada periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam. Menurut Goldziher, hadis adalah produk bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi Muhammad wafat, bukan berasal dan ridak asli dari beliau.Pendapat Goldziher yang telah kami sebutkan ini yang sangan disetujui oleh kalangan misionaris. Diantaranya yaitu David Samuel Margoliouth, dia meragukan otentisitas hadis. Alasannya yaitu:

  1. karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hadis telah dicatat sejak zaman Nabi saw,
  2. karena alasan lemahnya ingatan para perawinya.

Adapun Henri Lammens (misionaris Belgia) dan Leone Caetani (misionaris Italia) mendakwa isnad muncul jauh setelah matan hadis ada dan merupakan fenomena internal dalam sejarah perkembangan Islam, maka Josef Horovitz berspekulasi bahwa system periwayatan hadis secara berantai (isnad) baru diperkenalkan dan diterapkan pada akhir abad pertama hijriyah. Spekulasi Horovitz ini kembali digaungkan oleh Gregor Schoeler.

Tokoh orientalis lain yang mengamini pendapat Goldziher adalah orientalis Inggris bernama Alfred Guillaume. Dalam bukunya mengenai sejarah hadis, mengklaim bahwa sangat sulit untuk mempercayai literatus hadis secara keseluruhan sebagai rekaman otentik dari semua perkataan dan perbuatan Nabi saw.

Spekulasi Goldziher dan para orintalis lainnya tersebut kemudian diterima dan diolah lagi Joseph Schacht, seorang orientalis Jerman keturunan Yahudi. Menurut Schacht konsep awal sunnah adalah kebiasaan atau praktek yang disepakati secara umum, yang disebutkan " tradisi yang hidup ". untuk sampai pada kesimpulan ini dia mengikuti D.S. Margoliouth dan mengikuti Ibn al- Muqaffa' , yang menurutnya mendapatkan istilah itu digunakan pada awal abad kedua untuk kepentingan regulasi administrasif pemerintahan Bani Umayyah. Konsep sunnah Nabi pada asal usulnya relastif terlambat , dibuat oleh orang- orang Irak pada sekitar abad kedua. Bahkan penggunaan istilah " sunnah Nabi" tidak berarti yang sebenarnya berasal dari nabi saw.,ia sekedar " tradisi yang hidup " dari madzhab yang ada yang diproyeksikan kebelakang hingga kelisan Nabi saw.

Untuk menopang argumentasinya bahwa konsep awal sunnah adalah praktek atau tradisi yang hidup, Schacht merujuk pada Margoliout dan Ibn Muqaffa'. Dia menulis : Margoliouth menyimpulkan bahwa sunnah sebagai prinsip hokum pada awalnya berarti penggunaan ideal dan normative dari masyarakat dan baru kemudian memperoleh arti terbatasnya sebagai preseden- preseden yang dibuat oleh Nabi saw.

Dalam bukunya Schacht menyatakan bahwa tidak ada hadis yang benar- benar dari Nabi saw, dan kalaupun ada dan bisa dibuktikan , maka jumlahnya amat sangat sedikit sekali. Senada dengan Goldziher , ia mengklaim bahwa hadis baru muncul pada abad kedua Hijriyah dan baru beredar luas setelah Imam Syafi'I (w. 204H\ 820 M), yakni pada abad ketiga hijriyah. Schacht juga mengatakan bahwa hadis- hadis yang terdapat dalam al- kutub as- sittah tidak dapat dijamin keasliannya, dan sitem periwayatan atau isnad merupakan alat justifikasi dan otorisasi yang baru mulai dipraktekkan pada abad kedua Hijriyah. Dikalangan orientalis sendiri, teori- teori Schacht menimbulkan reaksi prokontra.

Gugatan Schacht berkisar pada masalah isnad dan persoalan umur atau penaggalannya. Patricia Crone menambahkan bahwa penangalan atau penentuan kapan peritiwa suatu hadis muncul bukanlah perkara yang mudah. Kebanyakan hadis palsu, bahkan asal- usulnya pun nyaris mustahil diketahui, jika mengandalkan sumber sejarah Islam sendiri.

Meskipun telah banyak dikritik, teori dan metode Schacht masih saja diadopsi dan dikembangkan oleh Gauthier Juyboll. Tidak hanya pendekatannya, kesimpulannya pun tidak jauh beda dengan yang dikatakan oleh Schacht.menurut Juyboll, bahwa suatu hadis dimuat dalam kitab sahih Bukhari atau Muslim, belum tentu hadis itu otentik dan punya landasan sejarah yang pasti.. dalam bukunya yang khusus membahas sejarah asal usul dan perkembangan hadis, ia mengklaim tidak ada metode yang layak dipegang dan diterapkan untuk menentukan secara pasti apakah suatu hadis otentik atau tidak. Berdasar analisis isnad, ia menyimpulkan bahwa hadis memang sudah ada sejak abad pertama Hijriyah, namun ia tetap meragukan otentisitasnya. Sependapat dengan Schacht , Juyboll menuduh perawi yang dinamakan "common link" sebagai orang yang pertama kali memalsukan suatu hadis ; bahwa hadis yang diriwayatkan oleh sebenarnya bukan berasal dari Nabi saw, akan tetapi adalah perkataan sendiri atau perkataan orang lain yang disandarkan kepada Nabi saw. Juyboll juga meragukan historisitas isnad.

Belakangan muncul upaya- upaya untuk merevisi dan menetralisir pandangan- pandangan Goldziher dan Schacht yang dinilai terlali keras dan tajam. Orientaslis Inggris John Burton, misalnya, berpendapat bahwa menolak seluruh hadis dan menganggap semuanya palsu adalah keliru. Namun kritik dan revisi yang paling signifikan dilakukan oleh Harald Motzki, dosen universitas Nijmegen (Belanda) ini tidak setuju dengan kesimpulan Schacht mengenai awal munculnya hadis. Berdasar hasil analisisnya atas isnad maupun matan hadis – hadis yang terdapat dalam kitab al- mushannaf oleh Abdulrozaq as-shan'ani (w. 211 H\ 826 M ), Motzki menyimpulkan bahwa kecil sekali kemungkinan adanya keberagaman data periwayatan itu merupakan hasil pemalsuan yang terencana.baik matan atau isnad hadis dalam kitab tersebut layak dipercaya. Ia menambah teori Schacht bahwa isnad cenderung membengkak jumlahnya makin kebelakang, juga teorinya bahwa isnad yang paling lengkap adalah yang paling belakangan munculnya. Berkenaan dengan sejarah munculnya hokum Islam, Motzki juga tidak sependapat dengan Schacht. Menurutnya, Al-Qur'an dan Hadis sudah dipelajari semenjak abad kedua Hijriyah atau bahkan sejak Nabi Muhammad saw. Masih hidup, dan para fuqaha' di Hijaz sudah menggunakan hadis sejak abad pertama Hijriyah. Kesimpulannya bahwa semua hadis harus dianggap otentik, kecuali jika terbukti tidak.

Bahwa tidak semua orientalis hendak menghancurkan Islam dengan menebar keraguan terhadap al-Qur'an dan hadis. Ada juga Orientalis yang yang bermaksud baik dan tampak simpati kepada Islam yang disebut counter examples. Di bidang hokum Islam mereka sangat mempunyai kepentingan karena mereka selalu tahu orang- orang Islam semakin semangat mempelajari dan menerapkan Islam.

B. Bantahan Ulama Muslim terhadap Pendapat Para Orientalis

Dilihat dari sudut pandang ilmiah , karya Orientalis mempunyai kelemahan besar. Mustafa Huseini Tabatabai dalam bukunya yang berjudul " Kritik atas orientalis" menulis, " sebagian besar Orientalis memandang budaya Islam dari luar dan oleh karena itu mereka sulit untuk memahami Islam secara tepat. Tetapi masalah terbesar yang dilakukan para Orientalis adalah bahwa sebelum meneliti dan melakukan kajian, mereka telah menetapkan hasilnya dan kemudian baru melakukan penelitian.

Karena gugatan sarjana Orientalis terhadap hadis pada awalnya mempersoalkan ketiadaan data historis dan bukti tercatat yang dapat memastikan otentisitas hadis, maka sejumlah pakar pun melakukan penelitian intensif perihal sejarah literature hadis guna mematahkan argument Orientalis bahwa hadis baru dicatat pada abad kedua dan ketiga hijriyah. Prof .Muhammad Hamidullah, Fuad Sizgen, Nabia Abbot, dan Mihammad Mustafa Azami, dalam karyanya masing- masing telah berhasil mengemukakan bahwa terdapat bukti- bukti kongkret yang menunjukkan pencatatan dan penulisan hadis sudah dimulai semenjak kurun pertama Hijriyah sejak Nabi masih hidup. Namun bukti ini dia abaikan dan bahkan ditolak oleh para Orientalis.

Prof. Dr. M.M Azami dalam bukunya yang berjudul "menguji keaslian hadis- hadis hokum" mengkritik terhadap pandangan Schacht mengenai hadis, kritikannya meliputi:

a. Schacht inkonsistensi baik dalam teori maupun praktek.

b. Asumsi –asumsi yang tidak berdasar dan metode riset yang tidak ilmiah

c. Kesalahan- kesalahan fakta

d. Pengabaian terhadap realitas politik dan geografis

e. Kesalahanpahaman terhadap metode kutipan para ulama terdahulu

Ada satu kelemahan yang paling menonjol dalam metodologi Schacht , yaitu dia sering menarik suatu kesimpulan berdasarkan argumentasi e silentio, yakni alasan ketiadaan bukti. Argumennya tidak hanya melemahkan tetapi juga meruntuhkan validitas kesimpulan- kesimpulannya.

Kerapuhan metodologi ini tidak terlalu mengejutkan, karena Schach dan orang- orang semacam dia memang berangkat dari niat buruk untuk merobohkan pilar- pilar Islam. Dan ini berakibat fatal secara metodologi. Karena dipandu oleh niat buruk, maka kajiannya pun diwarnai sikap pura-pura tidak tahu (willful ignorance) dengan sengaja mengabaikan data yang tidak mendukung asumsi- asumsinya dan memenipulasi bukti- bukti yang ada (abuse of evidence) demi membenarkan teori- teorinya. Hasilnya , kesimpulan –kesimpulan yang ia ambil tidak cukup valid, karena " main pukul rata " secara gegabah (hasty generalization ) dan menduga- duga (conjectures) belaka.

Terkait dengan kerancuan metodologi tersebut adalah sikap paradoks (berpendirian ganda) dan ambivalen (menganut nilai kebenaran ganda) yang tak terelakkan. Di satu sisi mereka mertagukan dan bahkan mengingkari kebenaran sunber- sumber yang berasal dari orang Islam. Sementara di sisi lain mereka menggunakan sumber- sumber Islam tersebut sebagai bahan referensi. Sikap paradoks ini merupakan konsekwensi yang tak terelakkandari dilema metodologas antara merujuk atau tidak merujuk, antara mempercayai atau tidak mempercayai sumber- sumber Islam.

Sikap ambivalen Orientalis terungkap jelas , dalam kasus Juyboll, Couslon, dan Motzki.ketiga Orientalis ini tampak "plin- plan", membenarkan dua tesis yang saling bertentangan nilainya. Misalnya kasus Juyboll yang merasa serba salah dan mengatakan bahwa sulit untuk memepercayai kebenaran dan historisitas hadis, namun juga menyatakan bahwa secara keseluruhan hadi- hadis itu menggambarkan situasi sejarah yang boleh dikatakan cukup bisa dipercaya. Artinya , disatu sissi ia mendustakan, dan di sisi lain ia membenarkan.

Adapun secara epistemology, secara umum dapat dikatakan bahwa sikap orientalis dari awal hingga akhir penelitiannya adalah skeptis. Mereka mulai dari keraguan dan berakhir dengan keraguan pula. Meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Akibatnya , meski bukti- bukti yang ditemukan menegasikan hipotesanya, tetap saja mereka akan menolaknya, karena sesungguhnya yang mereka cari bukan kebenaran , akan tetapi pembenaran. Apa yang membenarkan praduga yang dikehendaki itulah yang dicari dan, jika perlu di ada-adakan. Sebaliknya, apa- apa yang tidak sesuai dengan presuposisi dan misi yang ingin dicapainya akan dimentahkan dan dimuntahkan.

Karya Orientalis yang sangat spektakuler adalah Ensiklopedi hadis (al- Mu'jam al- Mufahras Li Alfazh al- Hadis an- Nabawi) yang merupakan hasil kerja kolektif sejumlah Orientalis, yang diketuai oleh A. J. Wensinnk. Orientalis dalam mempersiapkan ensilkopedi initidak dapat melepaskan bantuan para ahli hadis dari kaum Muslimin, khususnya Al- Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi, pakar terkemuka dari mesir. Dan hal ini diakui Wennsinck sendiri dalam mukaddimah ensiklopedi tersebut, betapa mereka mengalami kesulitan tanpa bantuan dan keahlian Abdul –Baqi. Selain dari itu, masalah pencetakan karya twersebut mengalami kesulitan, tanpa bantuan seorang ahli percetakan kitab- kitab Arab dari India. Sebab ketika karya itu dikirim ke India untuk dicetak di penerbit Islam India, Abd Shamad Syarafuddin, direktur itu menemukan banyak kesalahan dalam naskah ensiklopedia yang membutuhkan keahliannya untuk memperbaiki kekeliruan itu.

Para Orientalis yang lain juga banyak yang membuat karya- karya tentang keislaman. Tetapi tidaklah semua Orientalis yang mempunyai karya dalam studi Islam semata- mata terdorong oleh kecintaan pada ilmu. Akan tetapibanyak dari mereka yang terbukti melakukan kecurangan ilmiah, pemalsuan dan ketidak jujuran.

C. Pengaruh Orientalis di balik Anti- Hadis

Serangan Orientalis terhadap hadis dilancarkan secara bertahap, terencana dan bersama- sama. Ada yang menyerang matannya seperti Sprenger, Muir dan Goldziher. Menyerang isnadnya seperti Horovitz, Schacht dan Juyboll. Serangan mereka diarahkan kesemua kategori; sebagian menyerang hadis sejarah yang berhubungan dengan sirah. Sebagian yang lain menggugat hadis hokum atau fiqih.

Gugatan para Orientalis dan misionaris Yahudi dan Kristen itu telah menimbulkan dampak yang cukup besar. Mereka telah berhasil mempengaruhi dan meracuni pemikiran sebagian kalangan umat Islam. Maka muncullah gerakan anti hadis di India, Pakistan, Mesir , dan Asia Tenggara. Pada tahun 1906 sebuah gerakan yang menamakan dirinya Ahli Qur'an muncul di bagian barat Punjab, Lahore, Amritsar. Pemimpinnya yaitu Abdullah Chakrawali dan Khwaja Ahmad Din, menolak hadis secara keseluruhan.

Dalam propagandanya, gerakan ini mengklaim bahwa Al- Qur'an saja sudah cukup untuk menjelaskan semua perkara agama. Akibatnya , mereka menyimpulkan shalat hanya empat kali sehari., tanpa azan , dan iqomat, tanpa takbiratul ihram, tidak ada shalat 'Id dan shalat jenazah. Chakrawali bahkan membuat aturan shalat sendiri, mengurangi jumlah rakaat- rakaatnya , dan membuang apa- apa yang menurut dia tidak ada dalilnya dalam Al- Qur'an.

Gaung inkarus- sunnah juga sampai ke Nusantara. Di Indonesia gerakan ini telah dilarang secara resmi oleh para ulama dan pemerintah sebagaimana tertera dalam fatwa hasil keputusan komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia Pusat tahun 1983 dan keputusan Jaksa Agung republic Indonesia, nomor 169\J.A\9\1983. inkarus- s

Sunnah juga terjadi di Amerika, Malasyia.


1 komentar: