10 April 2009

Efek Bom Bali Terhadap Ummat Islam Bali

Di seluruh alam semesta ini tidak ada satu makhluk pun yang tidak dapat berinteraksi, mereka saling berinteraksi antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lainnya. Karena dengan berkomunikasi mereka dapat memenuhi apa yang mereka butuhkan dan mereka saling melengkapi. Begitu juga dengan kita sebagai manusia, kita sebagai makhluk sosial yang memiliki akal dan fikiran harus lebih baik dari makhluk-makhluk lainnya yang telah ada. Kita diciptakan berbeda-beda dengan makhluk sesama kita, baik secara fisik, mental dan juga fikiran. Lalu mengapa kita diciptakan seperti ini? Karena dengan perbedaan itu kita dapat menciptakan suatu kesatuan yang kuat dan saling melengkapi, maka dengan kekurangan-kekurangan kita yang telah ada pastilah ada kelebihan-kelebihan yang terkandung di dalam diri kita. Dari sinilah kita harus memiliki sifat saling melengkapi, tetapi bagaimana agar kekurangan-kekurangan kita dapat terlengkapi? Yaitu dengan berkomunikasi dan berinteraksi.

    Dimanapun manusia berada, tidak akan dapat terpisahkan dari lingkungan sosialnya (masyarakat). Oleh karena itu, sejak dahulu, orang sudah menaruh minat yang besar terhadap tingkah laku manusia dalam lingkungan sosialnya. Tingkah laku manusia sebagai bagian dari lingkungan yang terbatas, separti keluarga, masyarakat di suatu wilayah tertentu dan sebagainya. Karena setiap manusia selalu terkait dengan linkungan masyarakat tertentu maka pengaruh sosiologipun sangat besar dalam perkembangan perilaku sosial masyarakat

  1. Setting lingkungan sosial

Observasi kali ini, penulis sengaja memusatkan pada daerah yang memungkinkan untuk diteliti. Daerah itu adalah di tempat kelahiran penulis yakni di Provinsi Bali. Yang mana latar pekerjaan mereka berbeda-beda satu sama lain antar warga. Ada yang bekerja swasta, PNS, nelayan, pedagang, petani, dan ada juga yang pengangguran. Dari aspek agama, kuantitas ummat Hindu lebih banyak dari ummat agama yang lain. Ummat Hindu di Bali ada sekitar 63 % dari jumlah keseluruhan penduduk di Bali. Disusul dengan kaum muslimin 28 %, ummat Kristiani 7 % dan agama lain 2%. Interaksi antar agama di Bali bias dikatakan cukup baik. Mengingat hingga sebelum pasca tragedy Bom Bali, hamper tidak pernah ada konflik besar antar ummat beragama terutama antara muslim dengan hindu yang notabene merupakan agama yang besar yang dianut.

  1. Gambaran tentang realitas sosial

Gambaran sosialnya, sebelum kejadian tragedy Bom Bali, interaksi antar ummat beragama berjalan selaras nyaris tanpa adanya permasalahan. Mereka bias hidup dalam berbagai aspek, mulai dari ekonomi seperti pergaulan di pasar, dalam hal pemerintahan dimana pejabat birokrasi tidak pernah menjadikan alas an agama dalam berbeda pendapat.

Namun pasca tragedy bom bali yang menewaskan 202 jiwa manusia tak berdosa, yang mayoritas warga asing, semua kehidupan social dari berbagai aspek seakan berubah 180 derajat. Disana sini banyak ditemukan adanya hal-hal yang berbau diskriminatif. Mulai dari interaksi social dalam pendidikan, politik, dan lain-lain.

  1. Penyebab munculnya masalah sosial

Penyebab masalah sosial ini adalah, karena ummat Hindu sangat fundamen dengan memahami masalah keagamaannya bahkan terkesan kaku dan fanatic terhadap adatnya. Jadi apapun yang dilontarkan oleh para sesepuh adapt disana akan dilkukan dengan se-radikal mungkin.

Dan juga, sebagaimana yang kita ketahui bersama, para pelaku dari Bom Bali tersebut yakni AMrozi cs adalah dari kalangan ummat Islam dan mengatasnamakan seruan agama. Maka kemudian, muncul asumsi dari kalangan ummat Hindu bahwa ummat islam adalah para teroris berkopyah. Dan banyak lagi skepma-skepma negative yang muncul kemudian.

  1. Bentuk-bentuk permasalahan sosial dan dampaknya

Setelah penulis melakukan observasi pada beberapa masyarakat muslim di Bali, terjadi perubahan interaksi sosial antar ummat beragama di Bali pasca tragedy Bom Bali. Tragedy tersebut sangat membawa dampak yang besar bagi aspek soaial kemasyarakatan antar ummat beragama di Bali. Yang dahulunya mereka bias berjalan dengan rukun, saling mengisi tanpa adanya sedikitpun rasa curiga. Namun kini, sudah banyak ummat Hindu yang memusuhi ummat Islam di Bali. Bahkan ummat Islam sudah di cap sebagai teroris.

KH. M. Zaki HAR, salah seorang Pengasuh Pondok Pesantren di desa Loloan Timur kecamatan Negara Kabupaten Jembrana Bali mengungkapkan, bahwa banyak kendala yang dialami ummat Islam dalam hal kebebasan beribadah. Seperti di daerah Pangkung Tanah Kecamatan Negara-Bali, yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dengan prosentasi hampir mencapai 90%, banyak larangan-larangan (peraturan) yang dibuat oleh para Pecalang (pemangku adat), yang intinya menutup semua akses kaum muslim. Seperti dilarangnya melakukan sholat jum’at di Masjid, tidak diperbolehkannya mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bersifat melibatkan orang banyak seperti diba’an, tahlil dll.

Dari aspek pergaulan, muncul skepma negativ dari ummat Hindu terhadap kaum muslimin di Bali. Mereka, ummat Hindu, berasumsi bahwa agama Islam telah melegalkan ajaran-ajaran yang mengandung kekerasan, atau bahasa ngetrendnya teroris. Sering kali terjadi perkelahian antara pemuda Islam dengan Hindu yang dipicu karena cemoohan.

Lebih parah lagi yang terjadi di daerah Singaraja. Di salah satu kampus terkenal di daerah tersebut, Universitas negeri Ganesha, sebagaimana yang diungkapkan oleh Masruhi, salah seorang Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris asal Negara-Bali, ada peraturan yang melarang mahasiswanya untuk meninggalkan kelas pada waktu kuliah. Permasalahannya, ketika jam kuliah itu tepat pada hari jum’at sekitar jam 12.30 WITA, yang notabene merupakan waktu menunaikan shalat jum’at bagi kaum muslim, maka mahasiswa tersebut dilarang untuk menunaikannya. Ini jelas menghambat akses beribadah dalam skup Pendidikan.

Hal semacam itu juga terjadi di salah satu SMA di Denpasar, yang mana siswa disana dilarang memakai jilbab dan rok panjang. Hal itu diungkapkan salah satu siswa yang bernama Nazriyah. “Aku terpaksa tidak memakai jilbab, karena ingin tetap sekolah disana” ungkapnya.

Semua kejadian seperti yang penulis paparkan diatas bias ditemui pasca tragedy bom bali. Pada hakikatnya, banyak dari kalangan ummat Islam di Bali mengalami kesulitan dalam kehidupan bermasyarakat pasca kejadian itu. Meskipun ada beberapa kalangan yang tetap mendukung pengeboman tersebut sebagai bentuk kekecewaan mereka akan budaya asing yang dibawa oleh para touris, namun kalangan ini hanyalah sedikit jumlahnya.

ANALISA DAN SOLUSI

Dari keadaan social sebelum dan sesudah tragedy Bom Bali, maka dapat kita analisa bahwa factor perubahan tersebut sangat erat kaitannya dengan fanatisme ummat Hindu terhadap agamanya dan perangkatnya seperti hokum adapt, fatwa para pemangku adapt dll. Dan juga akibat pernyataan pelaku Bom Bali yang mengatakan bahwa pengeboman itu dilandasi oleh seruan agama.

Dan itu jelas sangat berdampak negative terhadap ummat Islam di Bali yang notabene secara kuantitas kalah dari ummat Hindu. Baik interaksi social dalam aspek pendidikan, pergaulan, birokrasi dll.

Dari analisa hukum, terdapat penyimpangan hokum dari imbas tragedy bom bali terhadap ummat muslim bali dalam hal pelarangan melakukan ibadah shalat jum’at. Padahal kita ketahui bersama, bahwa di dalam Undang-Undasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan pada Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi:

Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali”.

Dengan demikian, perilaku menyimpang yang telah dilakukan oleh ummat Hindu terhadap kaum muslimin telah melanggar UUD ’45 Pasal 28E. dan ini menjadikan indikasi, bahwa hokum adapt Hindu di Bali lebih diutamakan dari pada konstitusi NKRI.

Saat ini yang dibutuhkan adalah adanya sifat toleransi yang tinggi bagi semua kalangan di Bali dan penegakan hukum yang benar-benar adil. Mereka harus mengetahui siapa yang patut disalahkan dan bukan untuk menjadikan alasan.

Khusus bagi ummat Islam yang terlanjur mendapat skepma negatig, maka harus lebih sering memunculkan sifat inklusif, ramah dan sering mengadakan kegiatan-kegiatan yang menunjukkan betapa Islam itu membenci adanya kekerasan dan aksi-aksi terorisme.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang bias dipetik dari abstraksi diatas adalah bahwa tragedy Bom Bali memberikan aspek yang cukup signifikan bagi ummat Islam yang berdomisili di Bali. Kehidupan yang harmonis antar ummat beragama di Bali sebelum Bom Bali, salah satu buktinya dengan dibangunnya lima rumah ibadah dari berbagai agama di daerah Nusa Dua-Bali, kini telah berubah. Banyak dari kalangan ummat Hindu berasumsi buruk terhadap ummat Islam Bali. Akibatnya bagi ummat Islam di Bali, mereka sering didiskriminasi dan terkesan termarginalkan. Meskipun mereka telah lama hidup dan berinteraksi dengan masyarakat yang majemuk seperti Bali. Mulai dari penutupan akses beribadah, pendidikan dan cemoohan dalam pergaulan banyak mereka telan. Meskipun bukan mereka yang melakukan pengeboman tersebut, namun karena pernyataan Amrozi cs -yang menyatakan bahwa landasan mereka melakukan pengeboman adalah karena seruan atau perintah agama- itulah yang menjadikan segalanya berubah.

Namun dengan adanya sifat toleransi tinggi antar ummat beragama dan pencitraan kembali oleh kaum muslim di Bali nantinya, akan menjadi solusi yang solutif bagi terciptanya masyarakat Bali yang tentram.

DAFTAR PUSTAKA

Syani, Abdul, 1987; Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial, Penerbit: Fajar Agung, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1982; Pribadi dan Masyarakat, Penerbit: CV. Rajawali, jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1982; Sosiologi Suatu Pengantar, Penerbit: CV. Rajawali, jakarta.

www.badilag.net

dunia pii » monumen tragedi bom bali.htm

lcki.org/bom-bali II

1 komentar: